Kamis, 11 Maret 2010
Penyu Di Ambang Kepunahan
Perairan Indonesia sangat kaya akan spesies ikan, reptil dan mamalia, seperti penyu salah satunya. Dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia, Indonesia memiliki enam jenis penyu yang terdiri dari penyu hijau, penyu lengkang, penyu tempayan, penyu belimbing, penyu pipih, dan penyu sisik dengan karapas atau batok kulitnya yang sangat indah.
Perairan Sangalaki, Berau, Kalimantan Timur, merupakan salah satu habitat terbesar penyu-penyu di Asia. Namun, dalam 20 tahun terakhir jumlah penyu sudah jauh berkurang, bahkan hanya tersisa sekitar 10 persennya saja. Kesimpulannya, penyu-penyu itu sudah terancam punah.
Karena nyaris punah, oleh pemerintah hewan ini kemudian dilindungi dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990. Badan Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam Internasional (IUCN) juga memasukkan penyu dalam daftar merah satwa yang sudah terancam punah. Alhasil, perburuan penyu, telur, dan memperdagangkan bagian-bagian penyu sama sekali dilarang.
Tapi, di berbagai tempat, penyu ternyata masih diburu dan dibantai hingga detik ini. Di Bali, misalnya, pembantaian penyu paling marak terjadi di daerah Tanjung Benoa. Lembaga Penyelamat Satwa Pro-Fauna mencatat, puncak pembantaian penyu di Bali terjadi tahun 1999 hingga 2000, dimana 27 ribu penyu dibantai untuk dikonsumsi. Hewan ini dibunuh dan diambil dagingnya untuk disate. Banyak pula pedagang ilegal penyu berlindung di balik kepentingan upacara adat,
Harga seekor penyu berkisar Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Dagingnya saja dijual seharga Rp 25 ribu per kilogram, sedangkan kulit yang sudah kering biasanya dijual mencapai Rp 80 ribu per kilogram. Tidak heran jika populasi penyu dalam 10 tahun terakhir menurun drastis. Penyebabnya tak lain praktik perburuan liar dan kian rusaknya lingkungan pantai.
Hasil investigasi Pro-Fauna menyebutkan, setiap tahun sekitar 1.000 ekor penyu dibantai di pesisir pantai Pulau Jawa. Satwa langka itu diawetkan, dimakan telur dan dagingnya, atau dicari karapasnya untuk bahan suvenir.
Lihat saja di Teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah, jangan harap wisatawan bisa melihat penyu mendarat di tempat itu. Nelayan juga nyaris sudah tak pernah bisa lagi mendapatkan tangkapan penyu dari laut mereka. Padahal, 10 hingga 5 tahun lalu banyak dijumpai penyu sisik terjerat jaring nelayan tanpa sengaja. Tapi, kini penyu sepertinya benar-benar telah punah dari perairan Cilacap.
Tidak sulit mencari penyebab hilangnya penyu-penyu dari perairan Cilacap. Pasalnya, daging dan telur satwa ini sudah dikonsumsi manusia. Sedangkan tubuh dan kulitnya diawetkan (opsetan). Di Cilacap, bisnis opsetan penyu pernah berjaya hingga awal tahun 2000. Dulu, para pengrajin setiap bulannya bisa menjual lebih dari 20 penyu opsetan. Harga seekor penyu sisik awetan bisa mencapai Rp 500 ribu.
Tak hanya diawetkan, sejumlah warung juga masih berani menjual telur penyu secara terbuka kepada wisatawan. Di pantai Pangumbahan, Sukabumi, Jawa Barat, misalnya, setiap tahun ada ribuan ekor penyu yang mendarat dan bertelur. Pantai sepanjang tiga kilometer ini sudah terkenal sebagai daerah penetasan penyu sejak zaman Belanda. Pasirnya yang putih dan halus sangat disukai penyu-penyu.
Sayangnya, telur penyu langsung dipanen para pemburu hanya berselang beberapa detik saja begitu telur diluarkan penyu dengan linangan air mata. Maklum, pemerintah daerah setempat membuat peraturan daerah yang membolehkan pengusaha memanen telur-telur itu atas nama konservasi. Ironisnya, telur-telur itu kemudian diperdagangkan secara terbuka di sepanjang Jalan Ahmad Yani, Kota Sukabumi.
Sementara di Yogyakarta, investigasi Tim Sigi mendapati sejumlah pengrajin masih memproduksi aneka suvenir dari karapas atau kulit penyu. Karapas-karapas ini didatangkan dari Bali dan Cilacap. Agar tidak terendus petugas, pengrajin hanya melayani pesanan dari pelanggan tetap dan tidak menjual bebas ke sembarang toko.
Di tangan pengrajin, karapas disulap jadi suvenir antik. Mulai dari cincin, gelang, sisir, hingga kotak cincin. Suvenir ini dijual di sejumlah toko di Kota Gede dan Malioboro. Di sebuah toko kerajinan perak terkemuka yang letaknya tak jauh dari Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta, suvenir berbahan karapas penyu masih ditawarkan kepada pengunjung.
Investigasi Pro-Fauna di sepanjang Pantai Selatan Jawa menemukan, setidaknya ada enam lokasi yang masih aktif menjadi basis perdagangan penyu, baik dalam bentuk daging, telur, minyak, atau suvenir berbahan dasar karapas. Diperkirakan, di enam lokasi itu ada ribuan ekor penyu dibantai setiap tahun. Namun, perburuan penyu di Bali masih yang terbesar.
Selain di perairan Jawa dan Bali, penyu dan telur-telurnya juga masih terus diburu manusia di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Di Tarakan, Kalimantan Timur, petugas BKSDA setempat belum lama ini berhasil menyita 300-an penyu awetan dari sebuah kapal yang dinakhodai seorang warga negara Cina, Wang Sue Cheng.
Maraknya perdagangan ilegal penyu bukannya dibiarkan. Upaya menyelamatkan penyu dari pembantaian dan perdagangan gelap antardaerah dan antarnegara terus dilakukan banyak pihak. Namun, seiring dengan banyaknya permintaan, berbagai cara pun terus dilakukan pengusaha untuk mengelabui petugas.
Di Bali, misalnya, banyaknya wisatawan yang tergiur dengan sate atau sop penyu, sehingga pasokan daging penyu ke daerah wisata ini masih menjadi yang terbesar. Dalam tiga tahun terakhir, tercatat ada 12 kapal yang tertangkap mengangkut penyu ke Bali.
Ada berbagai modus penyelundupan penyu. Kalau sebelumnya penyu biasa dibawa hidup-hidup oleh nelayan, belakangan ini mereka lebih memilih membawanya dalam bentuk daging. Penyu-penyu dipotong di tengah laut, dagingnya dibagi-bagi dalam ukuran kecil sehingga petugas kesulitan mengidentifikasi.
Perlindungan terhadap penyu memang sulit dilakukan. Alasannya, masih banyak pihak yang menggantungkan hidup dari eksploitasi penyu. Di Sukabumi, operasi terhadap pengusaha dan pedagang telur penyu sempat menuai sukses. Pengusaha telur penyu terbesar, Adang Gunawan dan sejumlah pengecer telur penyu menjadi tersangka. Namun, polisi setempat kemudian menghentikan penyidikan.
Di Samarinda, Kalimantan Timur, lain lagi ceritanya. Pekan lalu, dua orang pedagang divonis bersalah pengadilan karena terbukti memperdagangkan telur penyu yang dilindungi undang-undang. Tapi, ironisnya, di sepanjang jalan kota ini, praktik perdagangan telur penyu masih berlanjut hingga kini.
Di antara sejumlah kisah yang mengundang keprihatinan tersebut, kesadaran untuk melestarikan penyu dari ancaman kepunahan juga kian tumbuh. Di Pantai Kuta, Bali, misalnya, satuan tugas pantai yang dipimpin Gung Aji bahkan bisa menjadikan pelestarian penyu sebagai salah satu daya tarik wisatawan. Para turis dari berbagai negara diberi kesempatan ikut melepas anak penyu (tukik) ke laut. Turis yang tukiknya paling cepat menggapai air akan mendapat hadiah sebotol bir.
Penyu adalah binatang purba yang perkembangbiakannya sangat lambat. Ia baru bereproduksi setelah berumur 30 tahun, atau sama dengan sepertiga dari umur rata-rata penyu. Tapi, dari setiap 1.000 tukik yang menetas, hanya ada satu yang akan hidup hingga dewasa. Maka, tak ada pilihan lain, kecuali menyelamatkan penyu dari kepunahan akibat predator paling berbahaya, yaitu manusia.
Sumber : Liputan6.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
semoga ini dapat menjadi berita hotnews yang diedarkan melalui semua media publikasi.. tidak hanya melalui blog.. karena tingkat kesadaran masyarakat sangatlah memprihatinkan..
BalasHapusmiris gw liat penyu udah punah... jahat bgt manusianya. dulu pas gw kecil (tahun 2000an) gw liat banyak bgt penyu" awetan dijual di sepanjang toko souvenir pantai Teluk Penyu Cilacap.
BalasHapus