Minggu, 14 Maret 2010

Pembantaian Penyu untuk Upacara



Pembantaian penyu berlangsung setiap hari -- berkedok alasan untuk
kebutuhan
upacara agama. ''Itu alasan yang dibuat-buat!'' kata seorang pedande
kondang.

Masyarakat Kabupaten Badung-Bali sejak dahulu (menurut literatur WWF)
memang bertradisi menyediakan daging mentah penyu sebagai salah satu
sesajian
utama untuk upacara keagamaan Hindu. Di samping itu, penyu yang dimasak
hanya menjadi sesajian pelengkap saja. ''Artinya, masakan penyu tidak
harus
selalu tersedia dalam upacara keagamaan,'' tegas Ida Pedande Gede Putra
Bajing, pendeta kondang dari Denpasar, ketika ditemui penulis dua hari
menjelang
Hari Raya Nyepi. Ketika liputan selidik ini dilakukan, dari akhir Febuari
- Maret -
hingga awal April lalu, banyak orang yang mengaku membeli penyu untuk
perlengkapan upacara keagamaaan. Tetapi begitu diselidiki, ternyata mereka
memasak penyu dan menyantapnya untuk konsumsi sehari-hari -- tidak khusus
untuk upacara agama lagi.

Menyelewengkan alasan agama
Gede Putra Bajing mengakui, di Bali banyak orang yang menyelewengkan
alasan
memasak penyu untuk upacara keagamaan. ''Saya sebagai pedande
menggarisbawahi, di dalam Kitab Wedha maupun ajaran Hindu keseluruhan,
tidak
ada perintah wajib masakan daging penyu untuk upacara agama,'' jelasnya.
Meskipun memang dibutuhkan, katanya. Tapi, cuma sekali setahun. Yaitu,
pada
saat upacara ''Taur Agung'' di tiap pura besar dalam rangkaian Hari Raya
Nyepi.
Yang mana bagian kepala dan lehernya saja yang mentah untuk sesajen.
Tetapi
itu juga cukup satu ekor saja untuk satu wilayah besar -- kabupaten,
kotamadya,
dan propinsi. Maksudnya, di Bali ada delapan kabupaten, satu Kotamadya
Denpasar, dan propinsi Bali. Jadi untuk satu tahun buat kepentingan
upacara
agama hanya butuh 10 ekor saja se-Bali.

Sedangkan daging penyu yang dimasak sebagai sajian untuk upacara atau
pesta
adat, kata Putra Bajing, memang dipersilakan bagi yang mampu biaya. ''Jadi
bukan keharusan!'' tegasnya.

Dia juga mengakui memang ada anggapan di kalangan masyarakat Hindu Bali,
kalau menyajikan daging penyu sebagai sebuah prestisius. Karena dagingnya
dimitoskan keramat sebagai sajian upacara besar Nyepi setahun sekali, dan
Upacara Panca Bali Krama setiap 10 tahun sekali, serta upacara Eka Dasa
Ludra setiap 100 tahun sekali.

''Di samping itu 'kan harganya juga mahal -- seperti juga hewan sapi dan
kerbau
untuk kurban umat Islam,'' lanjutnya.

''Jadi sama seperti umat Islam, tidak wajib bagi yang tidak mampu,''
tambahnya.
Pedande ini juga mengetahui, masih sebagian kecil dari masyarakat Bali
yang
menyadari, bahwa penyu itu dilindungi. Dan juga masih sebagian kecil yang
menyadari, bahwa masakan penyu tidak harus ada untuk upacara keagamaan.

''Sebaiknya para pedande dan mangku adat menyuluh masyarakat. Ini 'kan
bisa
membantu jagawana yang kewalahan mensosialisasikan penyu dilindungi,''
ujar
Bajing.

Perangkat Hukum Siap Pakai
Perlindungan penyu sebenarnya sudah diundangkan. Yaitu, UU No V Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tepatnya bab
XII tentang Ketentuan Pidana, pasal 40 ayat 2, dijelaskan; ''Barang siapa
sengaja
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat 1 dan 2 serta pasal 33 ayat 3, maka dipidana dengan pidana penjara
paling
lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000''.

Khusus penyu dan satwa lain yang dilindungi ada di dalam Pasal 21 ayat 2
yang
intinya melarang setiap orang untuk: menangkap, melukai, membunuh,
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi secara utuh maupun bagian tertentunya dalam keadaan hidup
maupun
mati, serta mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

Kemudian dalam Pasal 33 ayat 3, melarang setiap orang melakukan kegiatan
yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Pasal dan ayat ini
termasuk
juga dalam hal pengambilan telur dari sarangnya di dalam pasir yang
bertujuan
untuk memperniagakan. Seperti yang terjadi di Jember, Banyuwangi, dan
Sukabumi.

Rincian ketentuan hukum di atas dipertegas pula dengan Pasal 40 ayat 5.
Bahwa
tindak pidana dimaksud ayat 1 dan 2 adalah kejahatan. Termasuk juga kepada
yang memiliki dan memperniagakan bagian dari tubuhnya untuk barang
kerajinan. Seperti di Bali, Sidoarjo, Yogyakarta, dan Jepara. Bahkan
sebelumnya, Indonesia
ikut menandatangani Covention on International Trade in Endangered Species
of
Wild Flora and Fauna (CITES) tahun 1978, yang menegaskan beberapa satwa di
antaranya semua jenis penyu atau produk dari penyu tidak boleh
diperdagangkan.
Lalu memorandum CITES disosialisasikan di Indonesia melalui Keputusan
Presiden RI No. 43 tahun 1978. Belakangan keluar pula Peraturan Pemerintah
No.VII dan VIII/Maret 1999 yang melengkapi UU No.V.

Sulit ditindak tegas
Di Bali, papan-papan penyuluhan prihal ketentuan itu juga tidak ada.
''Anggaran
penyuluhannya tidak cukup. Kami pernah memasang plang penyuluhan, walaupun
jumlahnya sedikit. Tapi dicabut warga,'' ungkap Endang Husnaeni,
Koordinator
Jagawana dari Unit Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kab Badung yang
membawahi wilayah Benoa dan Nusa Dua.

''Kami juga tidak bisa bertindak tegas. Karena orang Bali dan Bugis
mengancam
akan bikin kerusakan masal kalau bisnis penyu ditutup,'' tambahnya. Kalau
ingin
penggrebekan, menurut Endang, harus gabungan jagawana dengan polisi dan
kesatuan keamanan lainya serta kejaksaan. Supaya operasi gabungan bisa
berwibawa dan mencengangkan para pelaku. Tapi, untuk melaksanakan UU
No.V/1990, juga harus ada dulu Juklak dan Juknisnya.

Kuota 5.000 ekor
Khusus di Bali, peraturan di atas sulit dilaksanakan. Pemda setempat
menimbang
fenomena tersendiri di Bali bahwa sejak dahulu penyu menjadi makanan
tradisi
bernuansa keagamaan. Namun kebijakan itu bertahap secara kuantitas
dikurangi.

Saat ini masih diberlakukan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I
Propinsi Bali No. 22 Tahun 1990 tentang pembatasan pemanfaatan penyu di
Bali
hanya untuk kepentingan (agama) yaitu sebanyak 5.000 ekor setahun. Dengan
begitu Pemda tidak mentolerir eksploitasi penyu secara berlebihan. Artinya
juga,
tidak mentolerir jika penyu dijadikan santapan tradisi setiap hari.

Tapi siapa yang bisa mengawasi hanya 5.000 ekor dikonsumsi setahun?
Sedangkan pihak jagawana sebagai yang berwenang bersama polisi untuk
mensosialisasikan penyu sebagai hewan yang dilindungi bersama aturan
hukumnya -- sudah diancam ketika memberi penyuluhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar